27 April 2009

menjadi sarjana itu..

Setiap ngomongke kata sarjana, semua orang pasti menengok ke arahku. Bukan karena aku seorang sarjana, tapi karena "nama" akulah Sarjana. Menurut emak, nama itu di berikan oleh bapak sebagai harapan bahwa anaknya kelak bisa menjadi sarjana. Menjadi orang dengan tingkat pendidikan tinggi. Bisa berguna bagi lingkungan sekitarnya. Yah, namanya juga sarjana tentu saja dianggap serba bisa. Tidak memandang apakah mereka sarjana pendidikan, teknik, atau perpustakaan dan sarjana yang macam lain, yang penting semua sarjana pasti pinter dalam segala hal. Nah, dalam hal inilah maka semua orang dikampungku selalu semangat jika topic obrolannya adalah sarjana. Entah semangat untuk mengolok atau sebenarnya merasa kasian dengan sarjana itu juga belum diketahui. Yang jelas obrolan sarjana selalu mengalir deras saat orang-orang berkumpul di pos ronda. Dan sudah jelas jika temanya sarjana maka aku akan menjadi bumbu olokan yang hangat bagi tukang nongkrong di pos ronda. Tidak terkecuali malam ini.

Pos ronda menjadi tempat favorit nongkrong di kampung. Tidak pandang usia, tua muda sampai anak-anak sering menjadikannya ajang ngerumpi ala bapak-bapak maupun anak-anak. Lho jangan salah, sekarang anak-anak juga jago ngerumpi (mungkin membual ya..). dan malam hari ini adalah giliran kaum tua yang berkumpul. Lumayan komplit, ada Juki dan Sugeng yang jadi pentolan nongkrong, Pahfud yang nggak jelas manuvernya, ditambah Krabowo, Gutrisno bh, Mrizal, dan demang-demang (koclok) yang selalu mengikuti tren obrolan. Lagi-lagi sarjana menjadi perbincangan seru, terpaksa aku pun harus selalu mempersiapkan diri dengan muka dan telinga tebal.

“Jek, kalo ngeliat sarjana sekarang sepertinya enak yah?” Tanya Sugeng pada Juki.
“ha ha..enak minta duitnya, enak membelanjakannya, begitu?” Juki dengan gaya sindiran ala intelektual menjawab pertanyaan Sugeng.
“ya itu 2 diantaranya.”
“Lho?! Memang ada berapa enaknya jadi sarjana Sus?” kali ini JUki terheran-heran dengan maneuver Sugeng.

SUgeng melihat ke arahku. Lalu berbalik menatap Juki, Pahfud, Krabowo, Gutrisno bh dan MRizal. Belum sempat aku tersadar para demang-demang itu sudah ketawa duluan.
“Tanya saja sama ahlinya Jek.” Sugeng "menyebut panggilan keren Juki" kemudian menatap kearahku. Dan tanpa dikomando semua hadirin pos ronda terkekeh-kekeh menyusul ketawanya para demang.

“banyak sarjana yang tidak sadar kalau duit kuliahnya itu adalah keringat orang tuanya. Jadinya mereka sak geleme dewe. Ada yang buat beli miras, drugs (wah keren juga bahasa Sugeng) dan semacamnya, padahal setahu orang tua di kampung (apa kota ya?) duitnya digunakan buat kuliah yang bener macam beli buku-buku dan kegiatan kuliahan lain.”

Krabowo yang dari tadi berkemul sarung agaknya mulai gatal juga mendengar dominasi dua orang itu.
“Itulah akibat dari degradasi moral. Pemerintahan sekarang ini Cuma cerdas mengklaim keberhasilan ekonomi, tetapi lupa dengan hakikat peradaban.” Kali ini Krabowo bangkit dari duduknya. Dengan gayanya yang meledak-ledak berceritalah ia soal kehidupan kaum desa yang miskin, dan kaum kota (yang juga miskin). Sesekali ia melontarkan pertanyaan retoris.
“kamu kalau ngomong lupa tetangga Wo”. Gutrisno mulai unjuk diri.
“hakikat dari peradaban itu sendiri apa coba?” timpal Gutrisno bh.
“ellhoh..ya moral. Moral!”
“Moral yang seperti apa? apa kita ini tidak bermoral?” Pahfud menatap tajam Krabowo.
“contohnya kan jelas, sekarang ini banyak wakil rakyat di pemerintahan yang punya hobi korupsi. Padahal mereka juga sarjana lho. Apa itu bukan gejala degradasi moral?” Krabowo mulai serius. Urat lehernya makin membesar.
“betul joga Wo, itu karena sarjana sekarang suka membeli gelar. Karena mahal maka korupsi menjadi jalan alternative mengembalikan modal. Mirip masuk jadi polisi!” Sugeng nekat.
“Iya semua diembat, asal bisa jadi penghasilan sambilan”
“mirip kamu Jek, suka ngembat tapi gak keliat..” Sugeng terkekeh-kekeh.
“gerr!” Semua jamaah pos ronda tertawa.
“ya asal jangan seperti Sarjana aja” seorang demang mulai menggarap lahan kelemahanku.
“memangnya kenapa, mang?”
“lha itu pak jek, sarjana sekarang tidak mau bermandi lumpur. Maunya langsung jadi pegawai tinggi, lalu jadi priyayi. Nyari istri juga sesame priyayi, akhirnya repot.”
Semua jamaah pos ronda menatapku dengan tatapan meledek. Kubenamkan wajahku kedalam sarung.
“iya..aku ngerti..pengangguran!” jawabku
“Gerrr” semua jamaah terpingkal-pingkal mendengar jawabku. Aku memang pengangguran,meski sarjana, namun bukan berarti aku tidak mendambakan pekerjaan kan?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar